Rasa Aman
Rasa aman selalu saja bisa dirasakan ketika kita merasa sudah melakukan kewajiban, tentang pekerjaan, pelajaran, juga kebiasaan. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa tidak pernah aman dan nyaman, bukan tentang yang telah kusebutkan tadi, hal ini lebih parah dan bisa menjamur layaknya jamur yang menempel pada kayu yang basah. Ini harus diselesaikan!
Saat itu Aku dengan Kakakku selalu saja bekerja sama untuk hidup lebih baik, tanpa bantuan oranglain layaknya pengemis yang harus dikasihani, Kakakku tidak punya pekerjaan tetap hanya seorang editor iklan, Aku juga mendapat uang dengan menjadi seorang guru bahasa yang tidak memiliki pendapatan rata-rata seperti di kota-kota besar, sedikit namun mampu bertahan dengan gejolak perubahan zaman. Ibu dan Ayah kami sudah bercerai saat kami berdua masih kecil, jadi kami sepakat hanya hidup berdua dan tidak memihak kepada Ibu dan Ayah. Pamanku, sebut saja Rudy. Benalu pada tumbuhan terkadang masih berguna walaupun memang pada akhirnya akan membahayakan tumbuhan yang dihinggapinya, berbeda dengan Pamanku si Rudy, meminjam uang untuk kebutuhan anak dan istri, dan itu terjadi hampir secara terus-menerus, bertahun-tahun! Aku dan Kakakku belum berkeluarga, kami lelah diteror! Tapi Kakakku, Andy selalu saja tertipu dengan wajah iba Rudy.
Rasa tidak enak selalu saja mengelilingi hati kami ketika Rudy datang untuk meminjam uang, “tolong saya ya hari ini aja, besok saya ganti, tenang!” sambil tersenyum tipis tentu saja dengan wajah ibanya itu. Muak karena setiap hari direcoki, kami memberikan uang kami dengan wajah yang iba pula, kali ini kami yang iba karena selalu gagal untuk mendapatkan apa yang kami mau. Tidak bisa menabung, tidak bisa merasakan kenikmatan dari hasil keringat sendiri.
Waktu terus berlalu, anak Rudy akhirnya sudah besar, ia bekerja di tempat yang layak, memiliki gaji yang cukup, bisa untuk mencukupi sekaligus menghilangkan wajah Rudy dari iba menjadi sombong. “Nak, kalau kamu punya kesempatan untuk menabung, lakukan! Kalau oranglain pinjam uangmu secara terus menerus jangan diberikan ya”. Pesan yang ingin dibantah oleh Sandy anaknya yang sukses itu, jelas saja hal itu tidak baik untuk dilakukan. Seharusnya berbuat baik dan saing membantu itu lebih baik, bukan?
Satu tahun berlalu, Kakakku bekerja di tempat yang cukup bagus dengan benefit yang lumayan, kami aman. Akan tetapi, sudah 5 tahun aku tidak mendapati Paman Rudy kembali kerumah kami. Kakakku membutuhkan uang lebih untuk pengobatan kakinya yang sakit setelah kecelakaan. Kulihat dari kejauhan Sandy berjalan kearahku. Rumah sakit yang terlihat tidak elit ini menjadi pilihan Kakakku untuk berobat karena biayanya yang murah. “Kudengar Kakakmu kecelakaan? Aku turut berduka ya, semoga ia baik-baik saja”, sambil merogoh kantong dicelana panjang hitamnya yang seperti disetrika berkali-kali.
“Ini, ambilah. Aku hanya bisa bantu sedikit.”
“Ga perlu, buat kamu saja, dia sudah dibantu oleh kantornya. Sekarang kantornya sudah lebih baik dan royal kepada Kakak. Terima kasih atas bantuannya, San” aku tersenyum.
“Jangan seperti itu, ini sudah tanggung jawabku, dahulu Bapak selalu merepotkan kalian berdua. Maaf ya. Kalau begitu boleh aku bertemu dengan Kakakmu sekarang?”
Kami berdua berjalan masuk kearah kamar inap Kakakku. Setelah tabrakan tunggal Kakak langsung dirawat inap hampir seminggu. Aku membuka pintu kamar inap dan ada beberapa orang lain di kanan dan kiri, juga depan kami ada 3 kasur yang sudah di isi. “Sehat Pak Andy?” Tanya Sandy ke Kakak. Maksudnya apa ini? Kenapa dia memanggil seperti kepada atasannya saja? Aneh! Tetiba saja Sandy memberikan kartu nama berlogo perusahaan Kakak bekerja. “Kami tunggu sampai sembuh dan akan kami pertahankan Bapak ada diperusahaan kami Pak. Istirahat yang cukup dan juga tetap berhati-hati saat berkendara”, sambil tersenyum kepadaku juga dan ia memegang pundak Kakak. Aku dan Kakak melongo, langsung kutembak ia dengan pertanyaan yang membuatku penasaran.
“San, kamu manager di tempat Kakakku bekerja? Kata ayahmu, kamu kerja diperusahaan besar?” Sambil mengernyitkan dahi.
“Betul, perusahaan Bapak. Jadi selama ini uang yang Bapak pinjam pada kalian hanya untuk membangun perusahaan” sambil membenahi rambutnya yang rapih dan klimis itu.
Kakak tidak bisa berkata-kata, aku mematung tanpa kata. “Makanya aku minta maaf kepada kalian kalau sering merepotkan. Karena kalian berdua adalah orang yang baik dan masih ada hubungan keluarga, Bapak hanya meminta kepada kalian berdua untuk membangun perusahaan yang berguna untuk kalian juga nantinya” Sandy tersenyum manis bagaikan bulan bersinar dimalam hari.
“Jadi selama hampir 10 tahun selalu merepotkan kami berdua hanya untuk pinjam uang membuat perusahaan? Gila!” Aku hampir berteriak.
“Jadi maksudmu, Paman Rudy ingin mengganti uang kami dengan cara membuat perusahaan terlebih dahulu?” Kakak mulai bicara perlahan dengan wajah yang kaget.
“Tidak hanya itu, diantara kalian berdua akan ditunjuk menjadi CEO berikutnya, pimpinan perusahaan” membuka ponsel seperti sedang mengecek sesuatu diponsel canggihnya itu.
Kakakku pingsan, kakiku lemas seperti ada batu besar yang menempel didengkulku ini. Sial!
“Huft, lelah juga ya. Terima kasih ya Sandy, saya cuma bisa melakukan ini untuk mereka berdua. Kamu juga tetap anak Ayah, jangan cemas ya”. Rudy yang sedang duduk dikursi kayunya sambil menggenggam telepon dengan air mata yang mengalir deras dipipinya yang sudah keriput.
Tamat.