Pisang Goreng
Orde Baru telah usai. Barusan aku mendengar berita bahwa presiden telah diturunkan paksa. Tahun-tahun Reformasi dimulai. Orang-orang bersorak sorai, bergembira ria, bangga dengan prinsipnya kalau presiden turun tahta dan diganti dengan yang baru akan mendapatkan hidup yang makmur, siapa sangka? Nyatanya tetap begini adanya. Pekerjaan susah didapat, pedagang mulai kurang mendapatkan hasil seperti tahun-tahun lalu. Seperti aku, seorang pedagang pisang goreng dipinggir jalan raya kota Jakarta, hanya bermodalkan gerobak usang, dengan penjualan yang menurun.
“Bang pisang goreng 3 ya.”
“Siap, Mas. Tunggu ya.”
Percakapan itu sering terjadi disetiap waktu jam makan siang. Karena aku berjualan depan kantor kementrian, persis. Mereka yang datang untuk membeli tentunya dengan pakaian yang keren, modis, dan selalu wangi, entah kapan aku merasakan menjadi seperti mereka.
Sekitar selepas waktu dzuhur, aku mulai menunggu pelanggan untuk membeli pisang goreng hangat yang kubuat ini. Berharap habis bersih mengkilap agar aku bisa pulang lebih awal. Tiba-tiba ada pembeli datang, laki-laki paruh baya, badannya tegap, rambutnya sudah memutih dengan kumis dan jenggot juga berwarna putih tapi tetap terlihat keren tentu saja. Kuyakin dia ini pegawai kantor kementerian juga. “Saya beli pisangnya ya, Mas” sambil tersenyum dengan menunjuk pisang goreng yang sudah tersusun rapih.
“Sudah lama dagang di sini kayanya ya? Saya sering lihat soalnya.”
“Ya, Pak. Saya sudah berjualan dari awal tahun 96.”
“Wah lama juga ya, sudah 7 tahun.”
Pisang goreng sudah selesai dibungkus dengan rapih, tiba-tiba dia memberikan secarik kertas padaku, entah apa itu namanya, mungkin kartu nama seperti kebanyakan orang bilang. “Untuk apa ini, Pak?” Kutanya dengan rasa bingung, “Sudah, nanti hubungi saya saja nanti ya” sambil menepuk bahuku dan tersenyum lalu pergi.
Ketika di rumah aku memandangi kartu nama itu, bertuliskan Kartosoerjo, kemungkinan nama Bapak itu adalah Kartosoerjo. Lalu yang membuatku aneh adalah ia memiliki jabatan tinggi, orang yang berpengaruh terhadap perusahaan sepertinya. Aku coba hubungi melalui telepon umum dekat rumahku. Diangkat!
Setelah menelpon ke kontak perusahaan tersebut, aku diundang untuk datang ke perusahaannya di daerah Jakarta Selatan, tidak jauh dengan tempat aku berjualan. Setelah sampai di lokasi, aku dipersilakan masuk dan tentu saja bertemu dengan Bapak Kartosoerjo. Satu hal yang membuat aku terkaget-kaget adalah aku ditawari untuk bekerja ditempat ini. Menjalankan bisnis mereka. Intinya aku bekerja di sebuah perusahaan yang bekerja sama dengan kantor pemerintahan. Impianku selama ini terwujud, aku akan menjadi pegawai di salah satu kantor besar, tidak disangka-sangka, bukan?
3 tahun aku sudah bekerja ditempat ini, karierku naik pesat, sekarang aku menjadi atasan bagi para pegawai yang lain, aku diberikan tanggung jawab yang cukup besar. Mereka menghormatiku, menghargaiku, juga tunduk kepadaku. Akan tetapi kejadian aneh telah kutemui, rasa ketakutanku timbul, kegelisahan yang selama ini aku rasakan akhirnya muncul kepermukaan. Aku dituduh melakukan korupsi, entah apa yang aku lakukan sampai dituduh dan ditangkap dengan brutal. Saat aku diborgol dan diarahkan ke pintu keluar, aku melihat Pak Kartosoerjo hanya melihatku, tanpa bergeming, tak membalas sahutanku. “Pak tolong saya, apa ini maksudnya? Saya tidak bersalah Pak! Tolong saya!!”
Aku dipenjara dan tak dihargai, dihormati seperti dulu lagi. Hanya ada jeruji besi yang mengelilingiku. Beberapa tahun kemudian aku dibebaskan atas tuduhan korupsi sebesar 5 miliar rupiah. Akhirnya aku memahami, ternyata aku hanya dikambinghitamkan oleh Kartosoerjo sialan itu. Padahal dirinya lah yang korupsi, sedangkan aku dirugikan.
Ku berjalan di pinggir jalan kota Jakarta yang sudah memadat hanya untuk merenung dan menghirup udara bebas, seketika aku lapar dan melihat pedagang pisang goreng yang berjualan di depan kantor Kementrian. Tapi, ada yang aneh. Sepertinya ada sedang membeli di gerobak Mas penjual tersebut. Benar! Itu si tua bangka sialan! Kartoseorjo! Sedang apa dia dengan penjual tersebut. Apakah ternyata ia ingin melakukan aksinya lagi?!
Aku membeli pisang gorengnya dan mendengar percakapan mereka kurang lebih seperti ini.
“Nanti jangan lupa hubungi saya, saya tunggu ya, Mas”
“Baik Pak, terima kasih banyak”.
Sinting! Ia menatapku dengan senyuman iblis, lalu pergi begitu saja dengan mobilnya. Firasatku buruk tentang ini, sepertinya penjual pisang goreng ini akan menjadi target berikutnya. Ada masalah apa dia dengan penjual pisang goreng?!
Tamat.