Langit Biru

Ganis Heryanto
3 min readApr 16, 2024

--

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Kulihat ada orang yang selalu menatapku dari jauh, di sebrang jalan dekat rumahku. Penasaran, ada apa dengan orang itu. Seperti itulah pikirku setiap siang hari dikala aku lelah setelah ngarit (mengambil rumput) untuk kambing-kambingku di rumah. Tatapan yang begitu tajam, hanya berdiri tanpa bergerak sedikitpun, anginpun kesal rasanya karena tidak bisa membuat ia tumbang, saking fokusnya melihatku duduk di teras rumah yang asri dengan pot-pot bunga yang berwarna-warni, itulah mengapa aku istirahat di teras, enak dipandang ditemani siang hari yang cerah dengan langit yang biru.

Rumahku tidak besar juga tidak kecil, hanya cukup untuk keluarga yang beranggotakan 5 orang; Aku, Kakak, Adik, Ayah, dan Ibu. Aku anak tengah. Setelah beberapa minggu aku mulai risih dengan orang itu, hanya aku yang ditatap olehnya, padahal rumah tetangga ada yang lebih bagus, dan terkadang mereka juga duduk sampai rebahan di teras, tapi tidak pernah ia tatap sampai segila itu, aneh memang. Aku coba bertanya kepada Ayah dan Ibu siapa orang itu (disclaimer: aku baru saja tinggal bersama keluarga, karena sebelumnya aku perantauan di luar kota, jauh dari kota asalku) ibu menjawab “sudah ga perlu dilihatin, diemin aja”, dan ayah membalas “kalau begitu terus siapapun juga risih lho, Bu”. Sepertinya orang itu sudah terbiasa begitu, tapi aku merasa ada yang aneh juga dengan Ibu, kenapa tidak jelaskan saja. Tapi yasudahlah.

Pada hari sabtu di jam 10 pagi, rasanya sudah siang betul hari itu, terang, angin sepoi-sepoi, pepohonan seperti berdansa bersama-sama, harum bunga semerbak, dan daun-daun berterbangan tanpa tahu arah. Kakak mencolek aku yang sedang membaca buku, “Dek, kalau mau, kamu samperin aja orang yang berdiri itu, jangan malah diem di sini, coba deh apa yang dia lakuin ke kamu”. Benar juga kata Kakak, akan kucoba nanti kalau orang itu mulai menatapku lagi dari jauh. Tapi sayangnya hujan turun deras beberapa menit kemudian, padahal langit tidak terlalu mendung. Seketika Adikku mengatakan sambil memainkan mobil remote-nya “kalau langit cerah aja dia bakal berdiri di situ, Kak”. Aku memicingkan mata, sebenarnya kenapa orang itu. Sepertinya orang di rumah ini sudah tahu persis orang itu. Aku semakin yakin untuk menemuinya langsung dan bertanya kenapa ia melakukan itu.

Hujan telah berhenti, langit sudah mulai cerah kembali, jarum jam menunjukkan jam 13:30, kutunggu orang itu akhirnya muncul juga, ia berdiri dengan wajah datar, tanpa ekspresi, kalau dilihat dari jauh seperti wanita tua, tapi entah siapa aku tidak kenal dehgan wanita tua itu karena aku baru tinggal di rumah bersama keluarga, baru 3 pekan karena ingin membantu merawat Ibuku yang sakit dan Ayahku yang sudah tua walaupun masih kuat untuk urus beberapa sawah milik sendiri.

Aku berjalan perlahan kearah wanita tua itu, ia mulai bergerak seperti ingin kabur dariku, ia membalikkan badan dan menutup wajahnya, lari sekencang-kencangnya. Aku mengejarnya, “mau kemana?! Jangan lari kamu!!”. Kulihat para tetangga keluar dan menatapku agak aneh. Ada apa sih dengan kampung ini?!

Setelah aku menggapainya, aku kaget bukan kepalang, ternyata selama ini yang berdiri di sebrang jalan menatapku dengan menakutkan adalah Ibuku sendiri! Ia Ibuku yang sakit jiwa, Ayah tidak pernah bilang kepadaku tentang penyakit Ibu, Kakak dan Adikku juga tidak jujur padaku soal ini, aku merasa kecewa dengan semuanya. Kenapa Ibu sakit seperti ini?. “Ibu kenapa begini? Kenapa Ibu ga cerita sama aku?!” Aku menangis sesenggukkan, ternyata selama ini Ibu rindu dengan anak-anaknya yang telah merantau ke luar kota, sampai ia gila dan mengidap gangguan jiwa. Sekarang aku baru paham kenapa Ayah mengatakan hal itu saat aku tanya mengenai wanita tua di sebrang jalan.

Waktu berlalu, aku memarahi saudara-saudaraku sambil menangis, Ibu hanya duduk diam menatapku, Ayah mulai bicara “Nak, sebenarnya sudah kami bawa ke rumah sakit jiwa, tapi Ibu selalu saja lari dan ujung-ujungnya ke tempat tadi. Ibu pernah bilang cuma satu kata ‘kangen’, tapi kami semua bingung maksudnya apa”. Sampai pada akhirnya kami semua paham, Ibu ingin semuanya berkumpul lagi di rumah yang usang, rumah yang begitu banyak kenangan, halaman yang indah berwarna-warni, dan langit yang selalu biru setiap harinya. Kini Ibu sudah mulai agak baikan, sehat seperti orang normal pada umumnya, aku bersumpah akan menyayangi kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku.

Tamat.

--

--

Ganis Heryanto
Ganis Heryanto

Written by Ganis Heryanto

Copywriter, Singer, and Novelis

No responses yet