Hujan Air
Ketika datangnya air dari Tuhan ini, semua tanah menjadi basah, menjadi subur, dan wangi. Berjatuhan dari atas langit yang tinggi, hingga semua orang berharap bisa menggapainya. Tak akan ada yang pernah menginginkan hujan batu, bukan? yang ada hanya hujan air yang menumbuhkan semuanya, tanaman, makhluk hidup, hingga hati yang telah lama disakiti, muncul kembali dalam selipan derasnya air hujan.
Tengah malam, sekitar jam 11 malam, aku mendengar seseorang melewati kamar kosku, sembari mengetok jendela yang tidak menggunakan besi tralis. Ternyata kekasihku, ada apa malam-malam begini ia datang menemuiku? bagaimana kalau terlihat orang lain? aksi yang cukup gila!
aku menyelundupkannya ke kamarku yang hanya aku seorang, tapi tenang saja, aku tidak melakukan apapun, hanya bicara yang penting saja, hal ini membuatku ketakutan setengah mati, mungkin saja ia ingin melakukan hal tak senonoh itu denganku, aku tidak mau melakukan hal gila itu! Tapi pada malam itu ia memegang bahuku dengan tangannya yang keras dan berotot itu, aku mulai terpana. Jangan-jangan benar dalam benakku, ia ingin melakukan hal itu. Arghh pemikiran macam apa ini!
Ternyata ia mengatakan, “aku butuh kamu, tolong aku untuk segera bilang kepada orang tuaku…” dengan napas yang berantakan, aku bertanya padanya, apa maksud ia minta tolong begitu, hal ini membuatku menjadi takut.
“aku tidak ingin jauh darimu, tapi orang tuaku meminta dengan keras, agar aku bisa belajar di luar negeri, di Australia”. Sontak saja ini membuatku syok dan ternganga. Berarti aku akan jauh darinya dengan waktu yang cukup lama, waktu yang tidak ditentukan, karena orang tuanya ingin kekasihku ini bisa bekerja di sana juga setelah menyelesaikan studinya.
Aku memeluknya dengan erat dengan memberikannya motivasi klise bahwa belajar lebih penting dari pada harus menjalani cinta yang tidak baik jika dipaksakan. Aku memegang tangannya dengan erat, ia mencium punggung tanganku dengan mengatakan “ikut aku ke sana, kita hidup bersama di sana, kamu setuju?”. Aku terdiam lagi tanpa kata dan terus memandangnya.
Hujan turun rintik-rintik, membasahi tanah bandara yang sudah mengering, persis seperti perasaanku pada hari itu. Mencoba untuk tetap tabah, menangis bercampur air hujan, karena ada air hujan yang turun dipipiku. Aku memandang wajahnya dari kejauhan, ia melihatku dengan penuh senyuman, entah melihatku atau keluarganya, entahlah tapi aku tetap tersenyum untuknya.
Melambaikan tangan setinggi mungkin, agar ia bisa melihatku bahwa aku datang untuk mengantarnya studi ke Australia. Terima kasih air hujan, kau yang terbaik, selalu membuat kenangan dalam hidupku.