Photo by Ganis Heryanto

Gemerlap Kota Petir

Ganis Heryanto
4 min readJun 20, 2024

--

Kenalkan aku adalah Albert, pemuda bisa yang hanya bekerja di perusahaan swasta. Seperti biasa, aku selalu pulang lewat jalanan yang sepi. Kubenci kemacetan. Siapa yang cinta dan nyaman ketika melihat mobil saling berebut jalur kosong dan motor yang saling menyalip? Padahal bukan hanya dia saja yang digandrungi oleh kesibukan. Kemacetan membuatku gila!

Kota yang dicap sebagai kota petir ini membuat siapapun merasa seperti tersambar petir, pasalnya banyak orang luar kota hingga orang dalam kota ini untuk “bermain” disalah satu tempat yang cukup terkenal dikalangan para anak muda. Apartemen di daerah Margonda, siapa yang tidak tahu tempat ini? Cukup gila bukan? Terkenal dengan kota ramah anak, tapi nyatanya tidak ramah untuk anak-anak. Pusing memahaminya.

Setelah aku pulang dari Jakarta menyusuri jalan Tanjung Barat lalu Lenteng Agung, hingga sampai ke Margonda. Aku menepi dengan mobilku, parkir, lalu turun. Kulihat ada seorang perempuan duduk manis dekat warung makan di atas trotoar itu, kuhampiri berharap ia mau kuajak bicara.

“Hai, lagi makan malam?” Sapaku sopan.

“Ya, biasa. Buat nambah tenaga bakal nanti malam, Mas” jawabnya sambil senyum.

Aku berbincang banyak dengannya, sambil makan roti bakar dan skuteng yang masih hangat dinikmati malam hari. Tengah malam. Aku berusaha mencoba mencairkan suasana agar tidak canggung. Perlahan aku tanya pelan, selangkah demi selangkah pertanyaan yang mengarah ketujuanku yang sebenarnya. Akhirnya sampai pada topik yang ingin kutanyakan padanya.

“Mba rencananya mau kemana? Saya pengen banget istirahat, capek banget kalau pulang malam begini. Apartemen di sini enak kali ya. Mba tahu ga ya di mana?” Kutanya dengan sangat hati-hati. “Boleh, mau ditemenin sekalian, Mas?” Sambil senyum, sungguh senyumannya sangat manis, aku hampir memerah karenanya. Aku setuju untuk ditemani olehnya. Hingga sampailah ke Apartemen terkenal di sini.

Kami berdua seperti orang yang sudah janjian untuk menginap semalam karena ada beberapa orang mengatakan “Wah dapet nih”, “Asik kayanya banyak nih ya” dan masih banyak lagi yang seperti catcalling. Begitu orang-orang biasa menyebutnya. Suasananya seperti sudah biasa terjadi. Aku memesan kamar, ia mengantarku sampai ke depan kamar, lalu mengatakan yang membuat aku seperti tersambar petir “Mau saya temenin ke dalem, Mas?”. Ia berbicara dengan nada yang cukup sopan, tidak brutal, dan tidak seperti wanita malam pada umumnya. Aku penasaran dengan wanita ini. Tidak hanya cantik, tapi wanita ini sangat beradab walaupun salah apa yang dia lakukan saat ini. “Boleh” kupersilakan masuk dengan senyuman diwajahku.

Aku meminta izin padanya untuk mengunci pintu kamar, dan tetiba saja disamping kamarku ada suara wanita yang sedang “perang”. Aku terpaku, dan wanita itu melirikku dengan wajah yang tersenyum. Benar-benar kota petir, setiap gerak selalu saja terasa seperti tersambar petir. “Itu sudah biasa, Mas. Jangan kaget ya, santai saja, sini Mas duduk samping saya”. Sambil duduk dipinggir kasur yang sudah terlihat “siap”.

Aku langsung menembak perempuan itu dengan kata-kata yang membuat ia tercengang. “Mba kenapa mau melakukan semua ini?” Aku duduk di bangku dekat jendela, lalu menghadap ke arahnya, menatap matanya. “Terpaksa, Mas. Cuma ini yang bisa saya lakukan untuk Ibu saya yang sakit, adik saya yang harus sekolah”. Aku yakin ini adalah sambaran petir yang paling sakit, karena sampai masuk ke dalam jantung dan hatiku. Jawaban gila!

Ia cerita panjang mengenai Ibu dan adiknya. Ternyata Sarah anak pertama, Bapaknya sudah wafat 3 tahun lalu, Ibunya sakit-sakitan dan butuh pengobatan lebih, dan adiknya butuh biaya sekolah SMP, padahal sudah beasiswa, tapi ia ingin adiknya bahagia dalam menimba ilmu. Kukorek terus apa tujuan Sarah menjadi “kupu-kupu malam” ternyata sangat membuat orang yang punya hati lembut sepertiku ini seperti disayat-sayat. Padahal ia tidak ingin menjadi seperti ini. Kuberikan nasihat-nasihat omong kosong padanya, karena tidak akan mempan pada orang seperti Sarah ini, hidupnya bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk yang lain. Ironis sekali negeri ini.

Sarah memegang tanganku lembut, perlahan pipiku juga dielus lembut olehnya, aku hampir terbawa suasana karenanya, aku tidak ingin melakukan ini, bukan ini tujuanku. Aku merogoh kantong Sarah perlahan, ia tidak sadar. Seketika bibirnya langsung mendarat dibibirku, apa ini? Lembut sekali! Aku melepas langsung kecupan bibirnya sambil mengambil handphone miliknya. “Maksudnya apa ini, Mas? Kamu mau ambil handphone saya?” Wajahnya kaget. Aku langsung keintinya “Saya sudah lama memperhatikan kamu” seketika kunyalakan handphone-nya lalu melihat chat masuk ternyata itu Bapak! Itu Bapakku!! Ternyata dia selingkuhannya! Betul kataku! “Kurang ajar ngapain kamu buka handphone saya!” Wanita itu geram dan meraih handphone-nya. Akupun geram dan tentu saja aku tangkap wanita itu dan kubawa kerumah untuk introgasi. Sial memang betul, jika kita didalamnya rasanya seperti disambar petir terus menerus. Kota petir gila!

--

--

Ganis Heryanto
Ganis Heryanto

Written by Ganis Heryanto

Copywriter, Singer, and Novelis

No responses yet