Dunia Bayang-bayang

Ganis Heryanto
9 min readOct 29, 2023

Ku lihat cahaya terang menyinari wajah dan beberapa anggota tubuh ku. Sinar yang cukup terang, sinar putih bak seperti di dalam film orang yang bertemu dengan sang pencipta. Tak ku sangka, ternyata itu adalah diriku sendiri dengan wajah yang kurang bahagia menurutku. Aku seperti membawa beberapa buku dan apa itu? seperti kayu?. Seketika juga aku bangun dari tidur ku yang melelahkan itu, membuat aku berkeringat diwajah dan juga selangkangan, luarbiasa.

Seperti orang-orang pada umumnya, ketika mengalami mimpi buruk atau mimpi yang menyenangkan, seseorang harus meminum air putih dulu agar bisa merasa baikan. Setelah ku minum air putih, ku pergi untuk berkaca didepan cermin yang sudah retak itu. Membayangkan, apakah tadi ada wajah ku yang bersinar ataukah memang hanya bunga mimpi seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang. Entahlah, aku masih bingung.

Seminggu berlalu setelah kejadian mimpi bersinar itu. Aku merasa sudah tidak ada gunanya memikirkan mimpi yang hanya sekelebat saja, tidak penting. Pada pekan pertama ini aku sebenarnya ingin memulai hal baru, yaitu melakukan perjalanan travel ke laut. Tidak pernah selama hidupku mengunjungi air yang banyak dan lebar luasnya belum bisa diukur sampai sekarang oleh para ilmuwan, juga kedalamannya. Aku ingin merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain tentang laut; angin sepoi-sepoi, suara gemuruh ombak, ikan yang melompat, dan juga suasana matahari terbenam. Wah indah sekali rasanya.

Tak sadar, aku sudah membungkus semua barang-barang ku untuk pergi ke laut di daerah Jawa Tengah, ya lebih tepatnya adalah pantai. Setelah duduk, makan, hingga buang air kecil di botol karena tidak tahan, mobil bis ini berjalan cukup cepat, melesat di jalan yang dibuat oleh pemerintah dengan rute yang hanya lurus saja, tidak berkelok-kelok seperti di gang daerah rumah ku, Jakarta. Tentunya setelah memakan waktu selama 8 jam di bis yang bau minyak angin itu, aku turun dan sampai di tujuan.

Seperti yang dikatakan oleh teman ku yang sudah pernah ke sini, aku harus menggunakan ojek motor untuk sampai ke pantai yang ku tuju. Setelah sampai, aku tidak bisa berkata-kata mengenai pantai ini, indah, cantik dan sangat membuatku betah berlama-lama dibibir pantai.

ku tengok ke kanan dan ke kiri, hanya ada beberapa orang saja di pantai ini, agak menakutkan, pasalnya pantai seindah ini apakah banyak orang yang tidak tahu atau kah mereka tidak peduli dengan menikmati pantai yang indah ini. Lagi-lagi aku bingung dengan dunia ini. Satu orang pria mendekati ku, “permisi Mas, sampeyan asalnya dari mana?” orang itu bertanya dengan sopan, tapi kenapa bertanya asal ku darimana, apa ada yang aneh pada diriku ini, sehingga dia bertanya dengan pertanyaan konyol seperti ini, ku jawab dengan nada yang cukup sopan tapi agak membingungkan “saya dari Jakarta, kenapa Mas?”, “oh tidak apa mas, saya mau tanya saja, soalnya di pantai ini hanya orang asli yang tinggal di sini saja, gimana mas bisa tahu ada pantai di sini?”, “maksudnya? mohon maaf, ini pantai umum untuk berkunjung orang-orang kan?”, seketika pria itu tidak menjawab dan hanya pergi begitu saja dengan wajah yang datar. Aku mulai kebingungan dan ku tengok kanan kiri, beberapa orang memandangiku dengan tajam, aku bagai pusat perhatian mereka. Apa sebenarnya yang terjadi, apa maksudnya ini, apakah aku salah memasuki pantai ataukah aku belum bayar karcis. Seingatku, aku sudah bayar karcis di depan pintu masuk, dan ku yakin sekali, ada sebuah plang pintu masuk ke arah pantai ini.

Karena ku merasa sudah tidak enak hati ketika melihat orang di sekeliling ku, maka aku harus bergegas keluar dari pantai yang indah ini dan segelintir orang-orang menyeramkan ini yang menatap ku seperti pisang sudah matang. Ketika aku ingin mengarah keluar arah pintu masuk pantai yang tadi, tetiba tempat loket dan plang pintu masuk itu sudah rusak, usang, dan seperti barang yang sudah tidak pernah dibersihkan, dijaga, hingga tidak pernah dibetulkan dalam waktu yang cukup lama, tentu saja aku kaget bukan main, apa maksudnya semua ini?. “mau kemana Mas?” ada pria tua seakan mendekatiku dengan menggunakan topi yang sudah usang, baju yang agak kotor, dan celana pendek berwarna hitam, layaknya seperti nelayan di pantai ini. “mau pulang Pak” dengan jalan yang terburu-buru aku bergegas dengan cepat membawa semua barang-barang sialan ini dengan cukup melelahkan dan juga merasa ketakutan. “tidak ada jalan ke arah sana Mas, itu arah ke hutan belantara”, seakan-akan tubuhku membeku dengan sangat keras, diam tak berkata apapun dan yang tidak bisa ku bayangkan dengan hal apapun. Ku memberanikan diri untuk bertanya dan memastikan kepada Pak Nelayan itu, “tadi saya masuk lewat sini Pak, ga mungkin saya lewat tempat lain, tapi kenapa jadi seperti ini”, “berarti sampeyan salah masuk toh Mas, sudah bisa masuk berarti sudahtidak bisa keluar”. Aku langsung merepet dengan nada yang cukup tinggi dan tentu saja karena merasa ketakutan akan yang hal yang terjadi padaku ini. Apa-apaan semua ini, kenapa hari liburku menjadi rumit dan menyeramkan seperti ini. Pak Nelayan itu hanya tersenyum padaku tanpa memberitahuku apa yang telah terjadi pada pantai yang gila ini. Senyuman yang tidak perlu diberikan kepada ku, senyuman yang agak menyeramkan.

Aku mencoba untuk tetap tenang dan mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi pada kondisi ku saat ini, hal gila macam apa ini. Hingga ada sosok wanita yang tidak terlalu tinggi berambut panjang dikuncir belakang, ia menghampiri ku, “Mas, kamu itu sudah masuk dunia yang berbeda, jangan panik. biar saya antar keluar dari sini”. Seketika badanku membeku lagi, kaku seperti patung yang terbuat dari batu. Aku mencoba untuk bertanya perlahan dengan wanita itu dengan suara yang gagap,

“maksudnya saya masuk ke dimensi lain?”

“betul, ini bukan tempat manusia pada umumnya, jadi Mas salah masuk. Kalau mau keluar dari tempat ini biar saya antar”.

“ah mana ada tempat seperti itu, ini cuma akal-akalan warga sini saja, kalian mau ngerampok saya kan?”

“hati-hati Mas kalau bicara, jangan sembarangan!”

Aku kaget ketika wanita itu mengingatkan ku untuk tidak berkata sembarangan, aku makin takut, makin tak karuan tentang masuk dimensi lain dan bukan tempat manusia pada umumnya, aduh kesialan yang paling gila yang kutemi di tahun ini.

Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak untuk marah-marah agar bisa selamat dari tempat ini. Pak Nelayan itu masih berdiri di sana dan menatap ku dengan senyuman yang aneh. “Pak, apa wanita itu mengatakannya dengan jujur?”, “ikuti kata wanita itu, saya tidak bisa bantu kamu keluar dari sini, saya yakin sampeyan akan baik-baik saja sampai akhir”, aku tidak paham maksud Bapak Nelayan itu mengatakan ‘baik-baik saja sampai akhir’, apakah aku akan tidak baik-baik saja atau lebih tepatnya akan mati dan menjadi warga asli di sini dengan senyum dan tatapan yang aneh itu, sangat menyeramkan.

“mari ikut saya Mas” wanita itu berkata sambil berjalan ke arah pantai lagi bukan ke arah pintu keluar yang ternyata memang sudah menjadi hutan belantara setelah ku lihat dengan bola mata ku yang rasanya mau keluar. Rasanya masih tak percaya aku memasuk pantai dengan melewati hutan yang lebat seperti itu, seingatku tadi diantar oleh tukang ojek pengkolan, ada jalan dan banyak juga orang yang berjualan di depan pintu masuk pantai. Ah sudahlah, jangan panik, tenangkan pikiran dan cari jalan keluar.

Aku langsung mengikuti wanita itu berjalan ke arah yang tidak tahu kemana.

Setelah aku mencoba mengikutinya dengan hati yang gelisah dan takut, seorang memanggilku dengan nada yang agak mendayu, pelan tapi menakutkan. Ku mencoba untuk tidak menengok ke arah suara itu apalagi mengikutinya. Aku tetap teguh untuk terus mengikuti wanita ini ke arah mana ia membawaku. Beberapa lama kemudian, aku mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di depan sana. Orang berkumpul dengan sorak sorai, gembira ria, seperti ada upacara adat. Kaki ku mulai lemas, keringat keluar deras dari pori-pori kulit ku yang sudah mulai memucat seperti tidak pernah minum selama berhari-hari.

“Oh ini ya orangnya?”, seorang laki paruh baya mendekatkan wajahnya kepadaku, bau mulutnya bagai naga berkaki empat, sangat tidak enak. Aku mulai sampai ke kerumunan orang yang sedang upacara tadi. Sebentar.. wajah orang-orang ini seperti ku kenal, ha? Ternyata benar! Mereka adalah wajah teman-temanku, apa maksudnya ini?. Mereka temanku di kampus yang pernah aku sakiti; Andre, Risma, dan Rizal.

Aku pernah membuat mereka saling bermusuhan, padahal kami berempat menjadi sahabat yang baik kala itu di kampus. Kejadiannya hanya kesalahpahaman, setelah kami lulus dari kampus itu, kami berempat berpencar dengan masuk ke sebuah perusahaan yang berbeda-beda. Sial sekali aku kala itu.

“Sekarang jelaskan kenapa ini semua bisa terjadi?!” aku melotot sampai muncratan ku ke wajah mereka bertiga. Andre menjawab dengan senyum dan tentu saja aku kesal melihat wajahnya “tenang, kita sengaja ngejebak lu biar masuk ke tempat ini, sekarang lu ga bakal bisa keluar”, “langsung kita jelasin aja” sambung Risma yang memang cantik ku lihat saat itu, ah pikiran macam apa ini.

“Hery, gue harap lu mau dengan permintaan kita ini, kita juga kejebak di sini sebenarnya, mau keluar, kita bertiga udah bertahun-tahun di tempat ini bersama orang-orang seperti ini” Rizal menjelaskan seperti presentasi di depan kelas dan disambung lagi dengan penuh harap “tolong kita bertiga, kita harus punya pemimpin di pantai ini, lu yang harus memimpin warga di sini”.

Intinya Rizal menjelaskan bahwa aku harus menjadi pemimpin di pantai ini dengan memberikan makan kepada warga di sini dengan kotoran alias tahi ku. Hal gila macam apa lagi ini? Kenapa mereka harus memakan itu? apakah tidak ada ikan? Aku harus cepat-cepat keluar dari tempat ini. Seketika aku berontak dan berteriak dengan sangat keras, Risma memegangi ku dengan kuat tapi sayangnya Risma tidak bisa menahanku, ya tentu saja aku sudah latihan karate beberapa bulan yang lalu ternyata ada hikmahnya.

Aku lari sekencang mungkin, warga di situ berlari mengejarku; Rizal berlari kencang bak pemain bola, Andre berlari bagai ingin menangkap maling, Risma berteriak sambil berlari yang tentu tidak cepat, tapi ada yang aneh, warga itu berlari seperti anjing, berlari dengan berteriak seperti anjing, dan juga ada berenang ke pinggir laut seperti ikan, dan itu cepat sekali sampai aku panik tak karuan, tempat macam apa ini!.

Aku akhirnya masuk ke hutan belantara tersebut, berlari sekencang mungkin tanpa berhenti, sesekali ku tengok ke belakang ada warga yang berubah menjadi kera, anjing, hingga entah bentuk apa dan sangat mengerikan; bertangan panjang dengan mulut yang terbuka sangat lebar hingga mengeluarkan suara yang menakutkan.

Di depan ku lihat ada sebuah tempat, seperti makam tapi bukan makam, hanya sebuah tempat satu petak dengan satu pintu. Aku menerobos masuk dan di dalamnya ada sebuah buku berkulit. Sedangkan pintu sudah ku tutup dan ku kunci, di luar ramai seperti orang berdemo agar aku keluar dan mengatakan kalau saya korupsi dan akan turun jabatan sebagai pemimpin. Tapi aku sudah kehabisan akal sehat. Aku ambil buku berkulit entah kulit apa, aku membukanya dan seperti bacaan mantra, aku tidak merapalnya tapi hanya ku buka dan keluar cahaya dari buku ini, lalu tembok makam yang bukan makam ini hancur oleh makhluk yang bertangan panjang itu dengan memanggilku dengan suara menyeramkan “Hery! keluar kau!”.

Ternyata pintu itu akhirnya jebol, jantung ku berdegup kencang, panik tidak karuan dan “Sialan kau Hery! Kemari!” Risma berlari dengan mulut bertaring dengan rambut yang berkibas, panjang dan kotor, mata yang memutih! Gila, tadi dia tidak seperti itu sekarang menyeramkan. Aku langsung mengambil tongkat di sebelah kanan ku, apapun itu untuk menahan mereka agar tidak menyentuhku. Tiba-tiba tongkat ini memancarkan cahaya dan mereka semua langsung merasa seperti kesakitan karena cahaya ini, dan si Bertangan Panjang ini mundur dan berteriak dengan keras dan…

“Her…”

“Hery, woy bangun! Kenapa lu tidur di tengah-tengah pantai, sih?”

“Saking banyaknya tugas kantor kah lu sampai kaya gini? Norak banget ah!”

Entah maksudnya apa semua ini, aku terbangun seperti mengalami mimpi buruk yang panjang dan menyeramkan, dan lebih gilanya lagi aku tertidur di tengah-tengah pantai, ohya satu lagi, ternyata aku berlibur dengan Andre, Risma, dan Rizal. Aku sampai lupa kalau aku membuat janji pertemuan di pantai ini dengan mereka beberapa hari yang lalu dengan tujuan meminta maaf dan menjelaskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi diantara kami berempat. “gue ngerasa tadi mimpi buruk, dan itu buruk banget, gue takut sumpah”. Aku menjelaskan ke mereka bertiga dengan wajah yang bingung seperti habis dihipnotis di terminal kampung rambutan. “ya itu karena kamu tidur ditengah pantai gini, aku lihat dari jauh, sudah banyak orang yang merubungi kamu, Her. Makanya aku langsung ke arah sini, ternyata kamu lagi tidur, aneh kamu” Risma menjelaskan dan tertawa terkekeh-kekeh. “Sorry ya kita bertiga terlambat datangnya” Andre menyodorkan tangannya kepadaku yang sedang duduk di atas pasir karena kebingungan kenapa aku bisa tidur ditengah-tengah pantai, yang ternyata aku hanya mimpi, mimpi itupun seperti sama seperti mimpi ku sebelumnya saat di rumah, di atas kasur empuk ku itu dan beberapa bekas air liur yang melebar.

Lalu kami berjalan bersama-sama ke arah penginapan dekat pantai, sambil ku lihat kanan dan kiri banyak orang normal; nelayan yang mencari ikan, anak kecil yang berlari kesana kemari, pasangan yang sedang ber-swafoto, dan hah? bukan kah itu perempuan berkuncir yang mengantarkan ku ke tempat upacara adat? dan kakek tua bangka yang napasnya bau naga berkaki empat? tetiba mereka melirik kepada ku dan tersenyum menyeramkan! Tidak mungkin, apakah ternyata tadi bukan mimpi buruk? aku tersentak dan berhenti. Ketiga sahabatku yang sedang dibelakangku juga ikut berhenti, waktu seperti berhenti jantung ku juga berhenti, lalu pundaku kanan ku dipegang, seketika aku tengok ke kanan, ternyata Risma dengan tangan panjangnya dan rambutnya yang berkibas juga tersenyum menyeramkan dengan taring panjangnya! Mati aku!

Selesai!

--

--

Ganis Heryanto
Ganis Heryanto

Written by Ganis Heryanto

Copywriter, Singer, and Novelis

No responses yet