Bangsa Elang
Suatu hari menjelang sore, aku melihat seorang manusia membawa beberapa alat untuk bertani, sepertinya ia habis dari sawah. Aku melihat ia berjalan diiringi senyuman sepanjang perjalanan pulang ke rumah, dengan baju yang kumuh, wajah yang kotor, dan tidak memakai sandal, walaupun biasanya aku lihat manusia ini menggunakan sandal untuk kesana-kemari, tapi kali ini tidak. Akan tetapi, ini bukan soal sandal.
Aku terus melihat gerak-geriknya, seperti ada sesuatu yang ia bawa, benar dugaanku, itu sekarung beras dan beberapa sayuran rupanya, wajah yang senang itu membuat aku jadi enggan untuk merecokinya. Biarkan saja, sepertinya ia ingin menggemberikan orang rumah. Ada beberapa yang lain sedang melakukan aktivitas; yang membuang nasi untuk pakan unggas, sayuran yang tetap dijual walaupun sudah layu, dan merecoki binatang-binatang yang sudah seharusnya ‘anteng’ di kebun.
Perkenalkan, namaku Bartelsi, nama yang unik, bukan? Aku seekor burung elang, memiliki sayap yang lebar, terbang dengan ketinggian yang luar biasa, dan punya cakar untuk memangsa, juga suara yang melengking. Walaupun hal itu aku miliki saat ini, rasanya aku tidak ingin menggunakannya dengan sembrono, seolah-olah seperti mempunyai segalanya, seperti manusia yang barusan aku perhatikan sedari tadi dari atas pohon yang agak gundul dan berbatang keropos.
Kami semua, bangsa Elang mempunyai nenek moyang bernama Garuda, ialah yang menyelamatkan suatu bangsa di Asia, namanya Nusantara. Bangsa yang unik, bangsa yang penuh dengan lautannya yang luas, tapi alam hijaunya pun tak kalah luasnya. Nenek moyang kami ini membantu dan menyelamatkan para masyarakat Nusantara agar mereka memiliki perilaku yang beradab. Hal itu Garuda lakukan juga pada bangsa kami yang terhormat.
Tetapi mereka merasa lebih tinggi dari kami, merasa lebih hebat, dan merasa memiliki segalanya dengan tidak mempraktikkan nilai-nilai bangsa Elang yang adil dan beradab, sehingga nenek moyang kami Garuda, seperti dikhianati. Kami sebagai Bangsa Elang merasa kecewa, padahal Garuda membantu mereka dengan tulus dan mengajarkan mereka agar menjadi manusia yang mempunyai nilai moral tinggi, beradab, dan kritis. Mereka menjadikan nenek moyang kami sebagai simbol kesatuan mereka. Tapi, kenyataannya hanya jadi simbol yang “biasa” saja bagi para penadah “kertas bergambar pahlawan”. Sungguh hina!
— — — — — — — — —
Pagi telah tiba, kurasa manusia yang barusan lewat yang dikanan kirinya sawah yang akan menguning alias akan panen itu sudah kembali bekerja. Aku melihatnya sangat gigih dalam mencangkul, memanen, hingga menumbuhkan lagi beberapa tumbuhan sayuran untuk keperluan gizi, otak, perut dan nafsu, juga keegoisan mereka, hingga rasa cemas yang tak kunjung reda. Aku mencoba tengok kanan dan kiri barangkali ada seekor ular yang nantinya bisa aku santap untuk sarapan pagi hari ini. Ya betul saja! Ular berwarna hijau itu melingkar di dalam sawah yang tidak jauh dari pohonku, sepertinya sedang mencari mangsa juga. Ada tikus dalam jangkauannya. Tentu saja, tikus yang sedang makan itu dan tak punya daya telah disergap oleh ular sawah itu, dililit lalu dicaplok dari kepala hingga ekor yang mungil itu, aku membantu? Tidak! Aku hanya menonton berdiam diri di dahanku yang sudah banyak lubang semut ini. Seketika para manusia itu menyerang ular tersebut, entah membantu agar tikus itu selamat ataukah alasan lain? Manusia memang problematik.
Setelah penyerangan warga desa terhadap ular itu, tikus tetap tidak selamat, ular sekarat, pikiran warga melarat yang tetap jadi manusia bingung harus bagaimana menjalani hidup dengan sebaik-baiknya kedepannya. Apakah dibiarkan untuk makan tikus sawah ataukah jadi peliharaan untuk kesenangan belaka? Dasar tidak bersyukur!
Aku terbang menukik menangkap ular itu untuk jadi santapan makan siangku. Setelah aku dapati ular itu, manusia melihatku, aku diincar, diburu, ditembak, hingga tidak bisa selamat oleh mereka yang rakus itu. Ular sudahku santap dengan lahap tapi aku tetap tertangkap. Setelah aku pahami lebih dalam saat dikandang, aku merenung dan berpikir bahwa manusia tidak butuh bangsa elang, tidak butuh penolong, juga tidak butuh penyalamat dan pelindung.
“Ayo makan jangan diam saja nanti kamu bisa mati!” Ujar warga yang memeliharaku dengan kejam. Sema orang hanya melihatku, menonton, dan terkadang menyoraki karena aku mengepakkan sayap besarku. Aku tetap terikat dengan rantai ditemani makanan yang sudah hampir membusuk. Ya betul, manusia lebih busuk dari apa yang kami kira.
Selesai.